Syarat-syarat Halalnya Yang Haram Ketika Darurat


السؤال : أعرف أن من الأمور ما تكون حراماً ثم لظروف معينة تصير حلالاً بدافع الضرورة ، أرجو أن تدلني على شروط ذلك .
Pertanyaan: Aku mengetahui bahwa ada di antara perkara-perkara yang tadinya haram, kemudian disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, maka ia menjadi halal dengan motif darurat. Aku harapkan Anda menunjukkan padaku syarat-syarat untuk itu.”
الجواب :
الحمد لله
من القواعد المقررة في شريعتنا أن ” الضرورات تبيح المحظورات ” ، وقد دل على هذه القاعدة أدلة كثيرة ، من الكتاب ، والسنَّة ، منها : قوله تعالى : (فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ) البقرة/ 173 .
Jawaban: Alhamdulillah
Di antara kaedah yang diikrarkan syariat kita bahwasanya : ‘keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang’. Dan banyak dalil-dalil yang menjadi dasar kaedah ini, dari Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Di antaranya, Firman Allah Ta’ala: “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Q.S. Al-Baqarah: 173]
قال الشيخ عبد الرحمن السعدي رحمه الله :
(فَمَنِ اضْطُرَّ) أي : ألجئ إلى المحرَّم ، بجوع ، أو عدم [يعني : عدم وجود طعام غير الميتة] ، أو إكراه .
Berkata syaikh Abdurrahman As-Sa’dy -rahimahullah-: ”Barang siapa dalam keadaan terpaksa”: yaitu ia terungsikan menuju hal yang haram dengan sebab kelaparan atau ketidakadaan makanan lain selain bangkai atau terpaksa.
(غَيْرَ بَاغٍ) أي : غير طالب للمحرَّم ، مع قدرته على الحلال ، أو مع عدم جوعه .
“sedang ia tidak menginginkannya” yaitu tanpa meminta hal yang haram tersebut, bersamaan dengan kemampuannya akan sesuatu yang halal atau ketidaklaparannya.
(وَلا عَادٍ) أي : متجاوز الحد في تناول ما أبيح له اضطراراً ، فمَن اضطر وهو غير قادر على الحلال ، وأكل بقدر الضرورة : فلا يزيد عليها .
“dan tidak pula melampaui batas” yaitu melampaui batas dalam memakan apa yang diperbolehkan karena darurat. Maka barangsiapa yang dalam kondisi darurat dan dia tidak mampu mendapatkan yang halal, hendaknya ia memakan dengan kadar daruratny dan tidak menambah-nambah.
(فَلا إِثْمَ) أي : جناح عليه ، وإذا ارتفع الجناح – الإثم – : رجع الأمر إلى ما كان عليه ، والإنسان بهذه الحالة مأمور بالأكل ، بل منهي أن يلقي بيده إلى التهلكة ، وأن يقتل نفسه ، فيجب إذًا عليه الأكل ، ويأثم إن ترك الأكل حتى مات ، فيكون قاتلاً لنفسه , وهذه الإباحة والتوسعة من رحمته تعالى بعباده ، فلهذا ختمها بهذين الاسمين الكريمين المناسبين غاية المناسبة فقال : (إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ) .
“maka tidak ada dosa baginya” yaitu: telah terangkat dosa baginya. Perkara kembali kepada asalnya. Dan manusia di kondisi seperti ini diperintahkan untuk memakan, bahkan dilarang baginya untuk menjerumuskan dirinya mnuju kehancuran. Ia juga tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Jadi, ia wajib makan, dan berdosa jika ia meninggalkan makan hingga matinya ia. Dan itu termasuk bunuh diri. Penghalalan dan peluasan hukum ini adalah merupakan bentuk rahmat Allah pada hamba-Nya. Karena itulah Allah menutup ayat ini dengan dua namanya yang mulia yang sesuai dengan tujuan. Maka Dia berkata: “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
ولما كان الحِلُّ مشروطاً بهذين الشرطين ، وكان الإنسان في هذه الحالة ربما لا يستقصي تمام الاستقصاء في تحقيقها : أخبر تعالى أنه غفور ، فيغفر ما أخطأ فيه في هذه الحال ، خصوصاً وقد غلبته الضرورة ، وأذهبت حواسه المشقة . وفي هذه الآية دليل على القاعدة المشهورة : ” الضرورات تبيح المحظورات ” ، فكل محظور اضطر إليه الإنسان : فقد أباحه له الملك الرحمن ، فله الحمد والشكر ، أولاً وآخراً ، وظاهراً وباطناً . ” تفسير السعدي ” ( ص 81 ) .
Dan ketika penghalalan itu disyaratkan dengan dua syarat ini, maka manusia di kondisi seperti ini mungkin tidak meneliti sesempurnanya penelitian, maka Allah mengabarkan padanya bahwasanya Dia adalah Maha Pengampun. Ia mengampuni apa yang salah dari manusia dalam kondisi seperti ini, khususnya jika ia telah dikuasai oleh keadaa darurat dan inderanya tak berfungsi dengan sempurna kala itu.
Dan dalam ayat ini terdapat dalil untuk kaedah yang masyhur: ‘keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang’. Maka segala sesuatu yang terlarang, telah dihalalkan oleh Sang Malik Sang Rahman. Maka baginyalah segala pujian dan rasa syukur, awal dan akhirnya, zahir dan batin.” [Tafsiir As-Sa'dy: 81]
ومن أدلة السنَّة :
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّا بِأَرْضٍ تُصِيبُنَا بِهَا مَخْمَصَةٌ ، فَمَا يَحِلُّ لَنَا مِنْ الْمَيْتَةِ ؟ قَالَ : (إِذَا لَمْ تَصْطَبِحُوا وَلَمْ تَغْتَبِقُوا وَلَمْ تَحْتَفِئُوا بَقْلًا فَشَأْنُكُمْ بِهَا) رواه أحمد (36/227) ، وحسنه المحققون لطرقه وشواهده .
Dan dari dalil-dalil sunnah:
Dari Abu Waqid Al-Laitsy -radhiyallahu anh- berkata: ‘Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah ditimpa kelaparan di suatu daerah, maka apakah halal bagi kami daging bangkai?’ Beliau berkata: “Jika kalian belum makan pagi, malam dan tidak pula mengumpulkan sayuran lalu memakannya, maka bagi kalian bangkai itu.” [H.R. Ahmad: 36/227] Dihasankan oleh para muhaqqiquun karena banyaknya jalur dan syahid dari hadits.
وقد مَثَّل العلماء على الضرورات تبيح المحظورات – غير أكل الميتة عند المخمصة – : إساغة اللقمة بالخمر , والتلفظ بكلمة الكفر عند الإكراه , ودفع المعتدي ولو أدى إلى قتله . انظر : “الأشباه والنظائر” ( ص 85 ) لابن نجيم .
Dan para ulama telah memberi contoh atas kaedah ini selain memakan bangkai ketika kelaparan, yaitu: melafadzkan kalimat kufur ketika dipaksa, dan melawan orang yang mencelakakan meskipun hal tersebut menyebabkan pembunuhan terhadapnya. [Al-Asybaah wa An-Nadzaair milik Ibnu Najiim: 85]
والضرورة التي تبيح فعل المحرم هي :
ما يلحق العبد ضرر بتركه – وهذا الضرر يلحق الضروريات الخمس : الدِّين ، والنفس ، والنسل ، والعقل ، والمال .
Dan kondisi darurat yang membolehkan perbuatan haram adalah: apa yang jika seorang hamba meninggalkannya maka ia akan kehilangan satu di antara 5 darurat: agama, jiwa, keturunan, akan dan harta.
وأما شروط إباحة المحرم للضرورة فقد قال الدكتور عبد الله التهامي – وفقه الله – في بيان ذلك :
“هناك شروط ، وقيود ، لا بد من حصولها في حالةٍ ما ؛ ليسوغ تسميتها ضرورة شرعية ، ولا يمكن أن تكون تلك الحالة ضرورة شرعية مع تخلف شيء من هذه الضوابط ، وإليك بيان هذه الضوابط ، مع الاستدلال لها :
Adapun syarat-syarat pengahalalan yang asalnya haram disebabkan darurat, maka Doktor Abdullah At-Tihaamy telah menjelaskannya dan berkata: ”Ada syarat-syarat yang harus terjadi agar penghalalan karena darurat tersebut bisa dianggap secara syar’i. Dan tidak mungkin keadaan darurat tersebut dianggap syar’i jika menyelisihi satu dari batasan-batasan ini:
1. أن يترتب على الامتثال للدليل الراجح المحرّم ضرر متعلق بإحدى الكليات الخمس ، كأن تتعرض نفسه للهلاك إن لم يأكل من الميتة .
1. Jika keharaman hal tersebut menghasilkan kerusakan terkait dengan salah satu dari lima darurat [agama, jiwa, keturunan, akan dan harta]. Seperti jika ia tak memakan bangkai yang ada, itu akan menyebabkan dirinya hancur.
2. أن يكون حصول الضرر أمراً قاطعاً ، أو ظنًّا غالباً ، ولا يلتفت إلى الوهم والظن البعيد ، كأن يكون المضطر في حالة تسمح له بانتظار الطعام الحلال الطيب ، فلا يقدم على تناول الميتة والحالة كذلك حتى يجزم بوقوع الضرر على نفسه ، فيجوز حينها تناول الميتة ، ودليل ذلك : ما علم في الشريعة من أن الأحكام تناط باليقين والظنون الغالبة ، وأنه لا التفات فيها إلى الأوهام ، والظنون المرجوحة البعيدة .
2. Kerusakan tersebut harus sudah diperkirakan dengan pasti atau dengan sangkaan yang kuat, tidak dengan sangkaan yang lemah tak berdasar dan jauh. Seperti jika ia merasa dalam keadaan darurat padahal ia berada dalam keadaan yang memungkinkan baginya mendapatkan makanan halal. Maka ia tidak boleh mendahulukan memakan bangkai di keadaan seperti itu hingga ia yakin bahwa keburukan akan terjadi pada dirinya [jika tidak segera memakannya]. Maka ketika itu, baru ia dibolehkan memakan bangkai. Dalil untuk itu: Apa yang diketahui dalam ilmu syariah bahwa hukum-hukum terfokus pada keyakinan dan sangkaan yang kuat. Ia tidak boleh menoleh pada sangkaan yang lemah dan jauh.
3. ألاّ يُمكن دفع هذا الضرر إلا بالمخالفة ، وعدم الامتثال للدليل المحرِّم ، فإن أمكن المضطر أن يدفع هذا الضرر بأمرين أحدهما جائز والآخر ممنوع : حرُم عليه ارتكاب المخالفة للدليل المحرم ، ووجب عليه دفع الضرر بالأمر الجائز ، كأن يغص بلقمة وأمامه كأسان من الماء ، والخمر .
3. Melawan kerusakan tersebut tidak mungkin bisa dilakukan kecuali dengan cara menyelisihi [peraturan syariah] dan tidak mematuhi dalil keharamannya. Dan jika memungkinkan bagi seorang yang dalam kondisi darurat melawan kerusakan dengan 2 perkara: yang pertama boleh dilakukan, dan yang kedua terlarang, maka haram atasnya melakukan penyelisihan terhadap dalil keharaman dan wajib baginya untuk melawan kerusakan dengan perkara yang diperbolehkan. Seperti jika ia kehausan dan membutuhkan air sementara di depannya ada dua gelas, satu berisikan air dan satu lagi berisikan khamr.
4. ألا يعارِض هذه الضرورة عند ارتكابها ما هو أعظم منها ، أو مثلها ، كأن يأكل المضطر طعام مضطر آخر ، ووجه ذلك : ما ورد من قواعد مثل : ” الضرر لا يزال بمثله” انتهى من “مجلة البيان” (عدد 120 ، ص 8 ) .
4. Tidak boleh melakukan sesuatu yang justru menyebabkan madharat yang lebih besar atau yang sepertinya. Seperti seseorang yang dalam kondisi darurat memakan makanan yang justru menyebabkan madharat lainnya. Karena adanya kaedah seperti: “Sebuah keburukan tidak dihilangkan dengan keburukan semisalnya” [Majalah Al-Bayan edisi 120, hal. 8]
وقال الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله : “ليس هناك ضرورة تبيح المحرم إلا بشرطين :
1. أن نعلم أنه لا تزول ضرورته إلا بهذا .
2. أن نعلم أن ضرورته تزول به” انتهى .
“لقاء الباب المفتوح” (3/19) .
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimiin -rahimahullah- berkata: “Tidak ada yang namanya ‘darurat membolehkan yang haram’ kecuali dengan dua syarat:
1. Kita ketahui bahwa keburukannya tidak akan hilang kecuali dengan hal tersebut [yang asalnya diharamkan ]
2. Kita ketahui bahwa keburukan itu akan hilang dengan hal tersebut.” [Liqaa' Al-Bab Al-Maftuh: 3/19]
وعلى هذا ، فشروط إباحة المحرم للضرورة هي :
1- وجود الضرورة .
2- ألا توجد وسيلة لدفع الضرر إلا بفعل هذا المحرم .
3- أن يكون فعل المحرم مزيلاً للضرورة قطعاً ، فإن حصل شك هل تزول الضرورة بهذا الفعل أم لا؟ فلا يجوز فعل المحرم حينئذ .
4- ألا يعارض هذه الضرورة ما هو مثلها أو أعظم منها .
Dan berdasarkan ini semua, maka syarat-syarat penghalalan sesuatu yang haram karena darurat adalah:
1. Keberadaan darurat itu sendiri
2. Tidak adanya wasilah/perantara lain untuk melawan kerusakan/keburukan kecuali dengan melakukan hal yang haram tersebut.
3. Perbuatan haram tersebut benar-benar akan menghilangkan kerusakan/keburukan secara pasti. Jika terjadi keraguan apakah ia menghilangkan kerusakan atau tidak, maka tidak boleh melakukannya.
4. Melakukannya tidak menyebabkan kerusakan/keburukan yang lebih besar atau yang semisalnya.
Wallahu a’lam